Mengurus Visa Pelajar ke Jepang (Beasiswa MEXT)

Oke! Kembali lagi dengan postingan yang agak membosankan, tapi cukup berguna untuk yang butuh. Di post sebelumnya aku udah tulis tentang pengalamanku daftar beasiswa MEXT / Monbukagakusho / Pemerintah Jepang, yang bisa dibaca di sini.

Pengajuan visa Jepang di Jakarta sekarang bisa dilakukan di Japan Visa Application Center (JVAC), Lotte Shopping Avenue, Jakarta. Tapi beberapa visa seperti visa dinas, visa diplomatik, visa darurat kemanusiaan, registrasi bebas visa e-paspor, transfer visa dari paspor lama ke paspor baru, ini semua masih dilakukan di Kedubes Jepang.

Untuk memastikan, aku telfon ke JVAC terkait prosedur pengajuan visa pelajar. Ternyata visa penerima MEXT harus diurus di Kedubes karena datanya ada di sana. Akhirnya aku menelepon Kedubes Jepang (nomor telepon: 021-3192-4308), yang sama mas-masnya langsung dihubungin ke bagian pendidikan. Aku menyebutkan namaku, lalu mba-mbanya kasih tahu ID-ku yang nantinya ditulis di pojok kanan formulir visa (ID itu sama dengan yang tertulis di dokumen yang MEXT kirim lewat pos ke rumahmu).

Ini dokumen yang perlu kamu bawa:

  • Form aplikasi visa (bisa di-download di sini)
  • Foto 4.5 x 4.5 berlatar belakang polos yang nantinya akan ditempel di form aplikasi visa
  • Paspor
  • Fotokopi KTP di kertas A4
  • Fotokopi Document for Visa dan Certificate (yang sebelumnya sudah dikirim oleh pihak universitas ke rumahmu)

Jangan kesiangan ya berangkatnya. Pengajuan visa di Kedubes hanya dilakukan pada jam 8.30-12.00.

Certificate (tertulis dalam bahasa Inggris) itu katanya nantinya mesti dibawa dan ditunjukan di bagian imigrasi di bandara, jadi untuk jaga-jaga, certificate-nya aku fotokopi dulu. Tapi Document for Visa-nya (tertulis dalam bahasa Jepang) nggak, habisnya kirain emang cuma butuh itu untuk pengajuan visa doang, kan. Ternyata mba-mba di counter-nya justru minta yang fotokopi, mungkin takutnya dokumen yang asli masih dibutuhkan nantinya.

Tempat fotokopi di Jalan Thamrin ada di sebelah mana?? Males banget kan kalo disuruh keluar nyari-nyari dulu. Untungnya mba-nya baik banget, katanya ngga usah. Jadi aku cuma kasih fotokopian Certificate-nya aja. ID-nya jangan lupa ditulis di formulir. Oh ya, pengajuan visa ini tidak dipungut biaya sama sekali alias gratis. 

Cepat dan mudah sekali mengurusnya. Di Kedubes kemarin nggak banyak orang yang mengantre, bisa dihitung pakai jari deh. Terus, ke Kedubes-nya hari Rabu, Senin depannya sudah bisa diambil (pukul 13.30-15.00).

Satu kebodohan yang aku lakukan adalah mengambil nomor urut di counter B. Bingung juga kenapa ibu-ibu di counternya sepertinya terlihat seperti orang Jepang. Lalu dengan bahasa Indonesia berlogat unik, dia kasih tau aku kalau urus visa itu mestinya di counter A. Oh, ternyata counter B untuk nihonjin yang mau urus paspor, surat, registrasi pernikahan, dan lain-lain… Padahal udah jelas tertulis di mesin nomor antre-nya. Tapi karena ada kertas pengumuman tertempel di mesin A, aku nggak baca dan langsung berasumsi kalau mungkin mesin itu rusak, lalu dengan pedenya langsung ambil nomor di mesin B haha. Seperti yang adekku bilang, aku terlalu sering berasumsi. Mesti dikurang-kurangin nih.

Kuliah di Jepang dan beasiswa Monbukagakusho (MEXT)

Update (20 January 2024): halo! Terima kasih untuk orang-orang yang masih mampir untuk baca dan comment 🙂 silakan hubungi aku ke shabrina.lyn@gmail.com untuk response lebih cepat, maaf ada comment-comment yang baru ke-notice sekarang. Sekarang aku kerja dan tinggal di Jepang. Visit my youtube channel to get a glimpse of living in Tokyo ^_^

https://youtu.be/iqBzZRq-mGs?feature=shared


Berawal dari Mimpi

Semuanya berawal dari seorang teman yang punya mimpi untuk kembali ke Jepang (dulu dia tinggal di negeri Sakura) untuk sekolah dan tinggal di sana. Lama-lama aku jadi tertular semangatnya. Dulu kalau ke Gramedia, sering banget cari buku tentang pengalaman orang-orang yang belajar di luar negeri, traveling ke belahan dunia lain, dan sebagainya.

Setelah membaca pengalaman-pengalaman inspiratif dari buku yang aku beli, aku mulai bermimpi supaya suatu hari bisa punya pengalaman living and studying abroad. Selain itu aku juga pikir, wah pasti asik tuh bisa sekalian traveling juga!

Biasanya isi blog-ku lebih banyak hal ‘gak berguna’ (lol), tapi kali ini aku mau berbagi pengalamanku mendapatkan beasiswa MEXT U to U program Master di Tokyo Institute of Technology. Semoga bermanfaat untuk anak-anak Indonesia lain yang sedang berburu beasiswa!

Agustus 2017: Menghubungi Sensei

Pada tahun keempat kuliah S1, aku mendapatkan kesempatan untuk ikut pertukaran pelajar di Tokyo Institute of Technology selama satu tahun dengan beasiswa penuh dari JASSO (kalau penasaran bisa baca di sini → [UPDATE] YSEP : Lab and Scholarship). Jurusan yang aku ambil di UI dan Tokyo Tech sama, yaitu Arsitektur.

Sebenarnya udah lama berniat mau lanjut S2 di luar negeri. Tekad itu justru semakin besar setelah pertukaran pelajar di Jepang. Awalnya berpikir untuk cari uni dan beasiswa ke Eropa, mikir juga untuk coba LPDP. Tapi ternyata aku suka dengan lingkungan belajar dan hidup di Jepang. Sudah berasa seperti rumah kedua. Suatu malam aku nangis karena keingetan kenangan-kenangan selama tinggal di sana (emang susah rasanya jadi orang sentimental). Akhirnya, malam itu, aku bertekad untuk lanjut lagi di Tokyo Tech. Malam itu juga aku langsung tanya-tanya ke seorang senior Indo yang lagi kuliah master di Tokyo Tech. Besoknya aku email sensei dari lab yang aku tempati selama setahun kemarin, sekalian tanya-tanya juga ke teman-teman di Arsitektur yang lagi lanjut Master di sana.

Screen Shot 2018-08-04 at 9.08.36 AM
Balasan email dari sensei

Aku senang karena sensei sangat suportif. Berdasarkan opini sensei dan kakak yang aku tanya-tanya, lebih baik kalau apply IGP (A) karena program Master ini juga terhubung dengan beasiswa MEXT U-to-U (University Recommendation).Saat itu masih bulan Agustus, aku baru balik dari Jepang setelah pertukaran pelajar, tapi saat itu aku udah mulai cari informasi untuk supaya bisa kembali dan lanjut S2 bulan September tahun depan.

Sekedar informasi, berdasarkan prosedurnya, ada dua jenis beasiswa MEXT, yaitu jalur embassy recommendation atau Government to Government (G-to-G) dan jalur university recommendation atau University to University (U-to-U).

Orang-orang yang mendaftar lewat jalur embassy recommendation ini akan mengikuti serangkaian seleksi beasiswa dari pihak kedutaan Jepang di Indonesia, lalu penilaian akhirnya akan dilakukan oleh pihak MEXT. Untuk pilihan universitasnya, mereka harus mengontak profesor di lab yang mereka tuju dan mendapatkan Letter of Acceptance. Setahuku jalur MEXT yang ini lebih kompetitif karena lebih banyak yang daftar.

Sedangkan orang-orang yang mendaftar lewat jalur university recommendation seperti saya, seleksi beasiswa dilakukan oleh pihak uni dengan cara merekomendasikan anak yang mereka pilih kepada pihak MEXT. Jadi, bedanya dengan jalur embassy, di jalur ini kamu hanya mendaftar ke satu uni (yaitu uni yang akan merekomendasikan kamu nantinya untuk beasiswa). Di jalur ini, saya berkompetisi dengan anak-anak lainnya yang juga mendaftar program dan beasiswa di jurusan yang sama seperti saya (kalau di Tokyo Tech sendiri, sepertinya mereka sudah mengalokasikan kuota beasiswa untuk beberapa jurusan dengan jumlah tertentu). Saingannya memang lebih sedikit, tapi kuotanya juga sedikit banget. Dari hasil kepo, satu jurusan hanya dialokasikan 1-3 orang (kalau ga salah).

Dengan menjadi penerima beasiswa MEXT, kamu akan mendapatkan ¥143.000/bulan (research student), ¥144.000 (mahasiswa S2) dan ¥145.000 (mahasiswa S3) murni untuk tunjangan hidup seperti biaya asrama/apartemen, makan, transportasi dan lain-lain. Ini cukup banget kok untuk biaya hidup sebulan, asal jangan hedon-hedon banget ya. Bahkan dengan manajemen uang yang baik, kamu bisa menabung juga (hal yang sulit aku lakukan selama pertukaran pelajar setahun lalu). Selain itu, tiket pesawat pulang-pergi ke Jepang juga ditanggung oleh pihak MEXT. Biaya kuliah ditanggung sepenuhnya (tidak dipotong dari biaya hidup bulanan). Katanya sih, sampai biaya urus visanya juga sudah ter-cover.

Seperti yang mungkin kalian udah tahu, sistem uni di Jepang itu adalah kamu akan bergabung dalam suatu lab dan menjadi anak bimbingan dari sensei yang memimpin lab tersebut. Kamu harus menghubungi profesornya dan menyatakan keinginan kamu untuk studi di lab-nya. Sebelum itu, kamu harus tahu betul hal yang mau kamu pelajari, kemudian cari uni dan lab yang memfasilitasi itu.

Aku juga melakukan hal ini sebelum ikut pertukaran pelajar sebelumnya di Tokyo Tech. Di Departemen Arsitektur di Tokyo Tech, ada empat lab yang berfokus pada Architectural Design. Aku kirim email ke empat sensei itu. Ini beberapa tips yang bisa aku kasih:

  1. Pada email pertama, sampaikan pesanmu dengan ringkas dan jelas. Jangan bertele-tele. Nama, asal negara dan uni, jurusan dan maksud bahwa kamu ingin lanjut studi di lab beliau (kamu juga bisa bilang kapan kamu bermaksud masuk, semester fall/spring). Mungkin saja lab-nya sudah penuh dan sedang tidak menerima murid baru di waktu masuk yang kamu inginkan.
  2. Kamu bisa berdiskusi tentang topik yang ingin kamu pelajari di email setelahnya.
  3. Cari informasi yang banyak tentang background sensei itu, misalnya paper yang udah dia publish dan sebagainya. Apa sesuai dengan yang kamu cari? Di email, kamu bisa menyampaikan minat kamu dan menyinggung tentang research beliau.
  4. Pakai bahasa Inggris yang rapi dan sopan! Tenang aja, kamu nggak perlu menggunakan bahasa Jepang. Ketika ada yang tahu aku mau lanjut S2 di Jepang, biasanya banyak yang tanya, “kuliahnya pakai bahasa Jepang gitu dong?” Nggak kok, banyak program Master di Jepang yang menggunakan bahasa Inggris. Komunikasi dengan sensei bisa dilakukan dengan bahasa Inggris.

September-November 2017: Mengisi berkas aplikasi S2 Tokyo Institute of Technology dan beasiswa MEXT

Fase ini cukup lama! Waktu itu aku masih ada satu semester lagi di UI untuk studio Perancangan Arsitektur 5 dan Skripsi. Aku mesti bolak-balik ketemu dosen pembimbing akademis, ke ruang TU Dept dan PAF FTUI untuk mengurus berkas aplikasi Master Tokyo Tech, seperti surat rekomendasi dari dosen, transkrip nilai, surat pernyataan tentang expected graduation (karena belum lulus S1, jadi butuh ini).

Oh ya, sebagai salah satu syarat di formulir MEXT, kamu harus menyertakan hasil tes bahasa Inggris, seperti IELTS min. 6.5, TOEFL PBT/ITP min. 570, TOEFL IBT min. 80, TOEIC min. 820. Kamu juga bisa menyertakan Japanese Language Proficiency Test (JLPT) min. level N2. Tahun lalu aku baru coba sampai level N4, tapi aku tetap tulis skornya beserta skor IELTS dan TOEFL PBT.

Tapi sebagai salah satu persyaratan berkas ke Tokyo Tech, mereka nggak menerima TOEFL PBT/ITP. Sebenarnya aku udah pernah ambil IELTS, tapi gemesnya, ternyata mereka mengharuskan tesnya diambil pada atau setelah 13 Desember 2015. Sedangkan tes IELTS ku waktu itu tanggal 12 Desember :))) Jadi aku terpaksa ambil IELTS lagi di LBI UI. Beruntungnya, skorku naik setengah dari yang sebelumnya menjadi 7.5, yesh! *happy* Omong-omong, untuk skor tes bahasa Inggrisnya, biasanya mereka meminta sertifikat asli. Jadi aku kirim sertifikat asli IELTS ke Tokyo Tech.

Kayaknya yang paling ‘susah’ itu bikin reserch/study plan-nya. Untuk research plan ini baiknya kamu diskusikan dengan orang lebih ahli seperti dosen pembimbing atau dosen yang bisa relate ke topik yang kamu ambil. Sebelum mengirim berkas ke Tokyo Tech (kirim lewat pos), sensei menawarkan supaya aku kirim dulu research plan dan portfolionya lewat email, jadi dia bisa kasih tanggapan dan saran.

Kalau teman-teman sedang bingung menyusun research plan untuk beasiswa MEXT, silakan bisa lihat contoh research plan-ku di bawah ini.

2018MEXT_Researchplan

Januari 2018: Interview yang Santai

Ada teman Vietnam-ku yang juga daftar ke program Master IGP(A) dan beasiswa MEXT di Tokyo Tech. Dia udah lebih dulu diwawancarai oleh senseinya. Mendengar cerita Kim, aku jadi panik sendiri. Kim ini diwawancarai sampai tiga profesor. Dia presentasi research sebelumnya dan research yang ingin dia lakukan di Tokyo Tech. Oh iya Kim ini anak pintar dan teladan, dulu saat pertukaran pelajar dia itu yang paling sering ke lab… bahkan saat weekend… sampai akhirnya aku dan Tasha sering ngajak dia main bareng supaya Kim nggak main di lab melulu :)))

Kim bilang dia presentasi lewat skype dengan menggunakan power point. Aku lupa berapa lama wawancara dia dengan 3 profesor itu, yang jelas lebih dari satu jam. Setelah sensei-ku mengabari untuk wawancara, aku sekalian tanya apa aku butuh buat presentasinya di power point. Tapi sensei bilang nggak perlu, dia cuma mau ngobrol-ngobrol aja tentang tujuan dan research-ku lewat portfolio dan berkas yang sebelumnya udah aku kirim lewat pos.

Wawancaranya hanya berlangsung 30 menit. Sebelum mulai wawancara, sensei memuji motif bunga-bunga di bajuku (waktu itu aku pakai blouse katun biru muda dengan motif bunga-bunga di bagian pundak ke bawah). Setelah aku pikir-pikir lagi sekarang, kok bisa-bisanya ya aku sesantai itu :”) Bukannya pakai kemeja. Udah gitu background video call-nya juga rak penuh barang yang ada di dinding kamarku. Sebenarnya sensei kayaknya nggak mempermasalahkan itu sih, tapi kalau aku ingat-ingat lagi tentang wawancara Kim, aku jadi merasa bersalah karena rasanya wawancaraku agak terlalu santai dibanding Kim (hmm).

Karena jurusanku arsitektur, aku juga mengirim portfolio berisi karya-karya desain selama kuliah di UI. Sensei bertanya mana desain yang paling aku suka/paling berkesan, aku memilih salah satu dan menjelaskan alasannya. Selebihnya, sensei lebih banyak bertanya tentang research plan yang aku kirim dan rencana masa depanku, terutama rencana setelah selesai S2. Bahkan sensei bilang di emailnya, let’s enjoy this conversation.

Menurutku tujuan dari wawancara ini adalah melihat apakah si calon murid ini memiliki ide yang jelas tentang hal yang akan dia lakukan di calon kampusnya serta kehidupannya pasca kuliah. Intinya kamu harus punya tujuan dan rencana yang jelas, serta menyusun topik research yang jelas dan relevan (apa yang mau didalami, kenapa memilih itu, kenapa hal itu dibutuhkan, bagaimana ilmu itu bisa bermanfaat, dsb). Aku selalu takut dengan wawancara, gugup banget. Tapi tarik napas dalam-dalam dan ingat-ingat lagi dengan mimpi kamu! Semangat semangat, pasti bisa.

Oh ya, saat itu sedang waktu makan siang. Setelah wawancaraku dengan sensei selesai, sensei bilang “oh iya tunggu sebentar” dan membawa laptopnya ke ruang utama lab (lab-ku punya dua ruangan; ruang utama dan satu ruangan lagi yang lebih kecil). Semuanya lagi berkumpul di sana, baru selesai makan siang.

Screen Shot 2018-01-09 at 11.04.22 AM
Hehe sempat screenshot ini :))

Oh ya, di akhir bulan Januari, aku mendapatkan kabar dari sensei kalau aku masuk daftar tentatif kandidat yang akan direkomendasikan oleh Tokyo Tech untuk beasiswa MEXT. Jadi, seperti yang udah disebutkan sebelumnya di atas, seleksi MEXT G-to-G dilakukan oleh pihak embassy. Sementara itu, seleksi MEXT U-to-U dilakukan oleh pihak universitas. Katanya sih, kalau udah masuk daftar rekomendasi dari universitas, kemungkinan besar akan lolos. Tapi kemungkinan besar itu bukan sesuatu yang pasti, melainkan hanya sebatas kemungkinan. Saat aku bertanya kabar Kim, ternyata Kim nggak masuk daftar rekomendasi. Aneh sekali, padahal Kim sangat pintar dan tekun, senseinya juga sudah mengenal Kim dengan baik (karena Kim sebelumnya sudah research di sana). Aku nggak pede dan belum bisa merasa tenang. Di waktu menunggu ini, cuma bisa sabar dan banyak-banyak doa.

April 2018: Pengumuman Universitas

Mendapatkan pengumuman diterima di program Master di Tokyo Institute of Technology lewat pos, bukan email atau pengumuman di web. Kesannya resmi banget ya. Aku senang dan bersyukur udah diterima, tapi aku masih harap-harap cemas menunggu hasil MEXT. Aku cuma mau mama-papa cukup membiayai kuliahku sampai S1 aja, selanjutnya aku mau mandiri dan berjuang sendiri. Salah satu caranya adalah dengan bisa kuliah dengan beasiswa.

Juni 2018: Pengumuman MEXT

Ketika dapat email pengumumannya, aku lagi ada di tempat magang. Karena telanjur penasaran dan deg-degan banget jadi aku buka aja emailnya di sana; Alhamdulillah lolos. Habis itu aku masih deg-degan dan rasanya tangannya agak gemetar *lebay*

Oh iya, Kim akhirnya diterima universitas di Korea Selatan dan dapat beasiswa penuh.


Kalau kamu lagi daftar MEXT atau mengejar beasiswa lain, terus semangat ya! Jangan takut gagal dulu. Aku percaya kalau kita emang benar-benar ingin sesuatu, pasti akan ada jalannya. Lagipula sesuatu yang ditakdirkan untuk kita pasti nggak akan nyasar ke tempat lain kok. 🙂 Kalau ada pertanyaan terkait MEXT silakan tanya kalau mau, bisa lewat comment di bawah atau email. Semoga tulisan ini bermanfaat!